Nurse paviliun Center

Nurse Paviliun Center adalah tempat perawat berjaga dan siap melayani pasien.

PAVILIUN

RS Era Medika Telah membuka pelayanan Rawat Inap Paviliun yang nyaman dan terjangkau.

INSTALASI GAWAT DARURAT BERSTANDAR NASIONAL

RS Era Medika berusaha untuk memberikan pelayanan Gawat Darurat yang berstandard Nasional.

Cafetaria

Dilengkapi dengan Cafetaria yang nyaman diharapkan pasien dan keluarga pasien merasa puas.

Memberikan Pelayanan yang Terjangkau dan Berkualitas

RS Era Medika berkomitmen memberikan pelayanan yang berkualitas dan Terjangkau dengan turut serta memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien Peserta BPJS Kesehatan.

Rabu, 18 Mei 2011

Pemanfaatan Informasi Kesehatan Untuk Pemasaran

Latar Belakang
Perkembangan komputerisasi informasi kesehatan telah semakin meningkatkan baik sisi penyimpanan maupun menggunaan data kesehatan. Seorang profesional informasi kesehatan harus memahami bagaimana mengelola berbagai jenis permintaan berkaitan dengan informasi kesehatan. Permintaan informasi kesehatan untuk keperluan pemasaran semakin banyak, baik dari dalam maupun dari luar institusi. Ada kebutuhan yang yang signifikan tentang data kesehatan individual untuk kebutuhan pemasaran secara langsung. Contoh penggunaan eksternal tentang hal ini meliputi kebutuhan dari pemasok medis, alat bedah, dan perusahaan farmasi – yang membutuhkan informasi mengenai konsumen potensial. Perusahaan-perusahaan ini berminat untuk membeli daftar nama individual untuk kebutuhan pemasaran mereka. Dalam kaitan ini, data pasien sangat mungkin untuk digunakan sebagai konsumen potensial dalam hal pemberitahuan adanya fasilitas baru (misalnya, pasien penyakit jantung akan dikontak untuk pemberitahuan adanya fasilitas pemeriksaan atau pengobatan baru di unit pelayanan jantung / coronary care unit).

Contoh kebutuhan internal misalnya penggunaan data pasien untuk penawaran pelayanan atau suatu fasilitas. Daftar ini bisa merupakan daftar dari individu terpilih melalui kriteria tertentu yang memenuhi kategori khusus dari dari layanan yang ditawarkan.

Sebagai konsumen, kita juga sering menerima selebaran, brosur, atau leaflet yang berkaitan dengan pemasaran secara massal. Mereka yang tidak ingin hidupnya diganggu dengan model pemasaran massal ini tentu tidak akan mengisi informasi pada lembar yang telah disediakan. Penolakan untuk mengisi dan melengkapi instrumen pengumpulan data seperti kartu garansi, lembar undian, dan lembar pilihan konsumen, akan memutus rantai informasi yang dibutuhkan oleh perusahaan pemasaran tersebut.

Data yang terkandung dalam berkas informasi kesehatan pasien tidak dapat diperlakukan sama dengan informasi yang terkumpul melalui kertu garansi atau lembar undian seperti diatas. Sekali disalahgunakan, informasi kesehatan dapat merusak dan membahayakan profesi pasien dan kehidupan pasien. Seorang profesional pelayanan kesehatan memikul tanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan informasi yang terkumpul saat melayani pasien. Pihak rumah sakit, perawat, profesi manajemen informasi kesehatan, dokter, terapis, dan petugas pelayanan kesehatan lainnya akan menanggung resiko tanggung jawab apabila kerahasiaan informasi dari rekam medis pasiennya tidak terjaga sebagaimana mestinya.

Informasi Rahasia vs. Informasi Tidak Rahasia
Saat menghadapi permintaan untuk pelepasan informasi, selalu harus diingat untuk membedakan jenis informasi mana yang bersifat rahasia dan informasi yang tidak rahasia. Informasi rahasia dapat meliputi antara lain data klinis dan alamat pasien saat keluar – apabila berbeda dengan alamat saat masuk / mendaftar. Pelepasan informasi kesehatan yang berkaitan dengan penggunaan alakohol dan penyalahgunaan obat selayaknya mengacu pada aturan pemerintah yang berlaku. Begitu juga pelepasan informasi yang berkaitan dengan kesehatan jiwa dan kondisi sensitif lainnya, harus sangat hati-hati dan memperhatikan batasan hukum yang berlaku.

Informasi yang tidak rahasia adalah hal-hal yang secara umum telah diketahui. Untuk jenis informasi ini tidak dibutuhkan ijin khusus daripasien untuk pelepasannya. Informasi tidak rahasia antara lain :

· Nama pasien
· Verifikasi perawatan atau pelayanan rawat jalan
· Tanggal pelayanan
Penggunaan Sekunder dari Informasi Kesehatan
Berkas rekam medis telah menjadi sumber informasi yang sangat berharga bagi individu dan institusi yang tidak terlibat secara langsung dalam pelayanan kesehatan dan proses pembayaran. Kita harus tetap mengingat prinsip dasar pelepasan informasi kesehatan pada saat mengelola permintaan informasi dari mereka yang tidak terkait langsung dengan pelayanan. Ingatlah bahwa berkas rekam medis (apapun bentuknya) adalah milik rumah sakit / provider pelayanan kesehatan, tapi informasi kesehatan yang terkandung di dalamnya merupakan milik pasien.

Pelepasan informasi kesehatan harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menjamin hak pasien terhadap privasi dan kerahasiaannya. Berkaitan dengan semakin luas dan semakin meningkatnya penggunaan sekunder dari informasi kesehatan, Sekretaris bidang Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan (Secretary of Health and Human Services) Donna Shalala mengajukan rekomendasi kepada Konggres AS pada tanggal 11 September 1997, tentang kerahasiaan informasi kesehatan. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain :

· Informasi yang berkaitan dengan identitas pasien hanya boleh dibuka dengan ijin dari pasien atau atas perintah pengadilan
· Informasi tentang pasien selayaknya hanya digunakan dalam lingkungan organisasi untuk tujuan yang sesuai dengan tujuan pengumpulan data dan informasi pasien tersebut
· Provider dan penanggung pembayaran tidak diijinkan untuk mengakses catatan kondisi, pengobatan, pembayaran, dan lembar kesepakatan pasien – kecuali bila informasi itu dibutuhkan untuk keperluan pengobatan atau pembayaran.
· Semua pelepasan informasi yang berkaitan dengan identitas pasien harus diupayakan seminimal mungkin dan hanya untuk kebutuhan pelepasan informasi itu saja.
Shalala juga mengajukan rekomendasi kepada Konggres AS berkaitan dengan pembatasan penggunaan informasi kesehatan, antara lain :
· Provider dan penanggung pembayaran diijinkan untuk menggunakan informasi kesehatan hanya untuk kebutuhan yang berkaitan langsung dengan tujuan pengumpulan informasi tersebut, atau untuk tujuan yang memang mereka diberi hak untuk menggunakan infomasi kesehatan tersebut. Misalnya, provider boleh menggunakan informasi kesehatan berkaitan dengan identitas pasien untuk mengirim surat pemberitahuan yang mengingatkan jadwal kontrol. Informasi kesehatan berkaitan dengan identitas pasien ini tidak boleh digunakan untuk pengiriman surat pemberitahu
an adanya produk atau jasa servis baru – walaupun mungkin produk atau jasa tersebut bermanfaat bagi si pasien.
· Kenyataan bahwa organisasi (RS) memegang keberadaan informasi tidak lalu menjadikan organisasi tersebut dapat menggunakan informasi itu dengan “seenaknya” baik untuk keperluan didalam maupun diluar organisasi. Organisasi pemegang informasi ini justru harus bisa menentukan dengan tepat dan secara eksplisit – aktifitas mana yang berkaitan langsung dengan kegiatan pelayanan kesehatan mereka – untuk menjamin penggunaan informasi kesehatan yang berkaitan dengan identitas pasien. Penggunaan lainnya hanya dapat dibenarkan setelah ada ijin dari pasien, atau atas permintaan pengadilan.

Rekomendasi Untuk Mengelola Permintaan Pemasaran
· Lakukan peninjauan / review terhadap kebijakan pelepasan informasi yang berlaku. Apakah kebijakan tersebut telah mengatur pula pengelolaan permintaan informasi untuk keperluan pemasaran ?
· Tentukan aturan kepemilikan untuk pelepasan informasi bagi keperluan pemasaran. Pastikan juga siapa yang bertanggung jawab terhadap proses ini.
· Kembangkan kebijakan yang mengatur akses terhadap informasi pasien untuk tujuan pemasaran baik internal maupun eksternal. Salah satu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan ini adalah dengan advokasi kepada direksi yang berwenang (institutional review board). Jika institusi / RS Anda belum memiliki institutional review board, Anda dapat bekerja sama dengan komite yang bertanggung jawab untuk hal ini – misalnya manajer informasi kesehatan atau komite rekam medis.
· Lindungi identitas pasien dan provider. Identitas pasien dapat diambil dari berbagai elemen data. Data tunggal maupun kombinasi yang dapat berisi identitas pasien, antara lain : nama, nomor RM, tanggal lahir, jenis kelamin, status marital, pekerjaan, alamat, nomor telepon, termasuk juga karakteristik fisik yang unik.
· Latih dan didik staf terkait tentang issue sekitar penggunaan sekunder dari informasi kesehatan – siagakan mereka agar selalu sadara terhadap tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan pelepasan informasi kesehatan.
· Bersikaplah proaktif dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan penggunaan informasi pasien.
· Ikuti perkembangan mengenai hukum dan peraturan yang berkaitan dengan hal ini

Sumber :
Rano Center's Blog

Julie J. Welch, RRA, Issue: Release of Information for Marketing Purposes, Journal of AHIMA, Januari 1998
*) Artikel ini pernah dimuat dalam buetin ESSENSI (buletin rekam medis dan manajemen informasi kesehatan) edisi 3


INFORMED CONSENT

Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan Persetujuan
Rencana Tindakan Medis


Seorang pasien memiliki hak dan kewajiban yang layak untuk dipahaminya selama dalam proses pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam hal ini yaitu hal untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care), hak untuk mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut menentukan (the right to determination). Dalam artikel ini akan dipaparkan pelaksanaan dari 3 hak mendasar tersebut berkaitan dengan proses pengisian formulir pernyataan menyetujui terhadap suatu rencana tindakan medis. Proses untuk menyatakan setuju ini disebut dengan Informed Consent. Hak dan kewajiban yang lain dari seorang pasien akan dipaparkan dalam artikel yang lain.

Seorang pasien yang sedang dalam pengobatan atau perawatan disuatu sarana pelayanan kesehatan (saryankes) seringkali harus menjalani suatu tindakan medis baik untuk menyembuhan (terapeutik) maupun untuk menunjang proses pencarian penyebab penyakitnya (diagnostik). Pasien yang mengalami radang dan infeksi pada usus buntunya sehingga perlu dipotong melalui operasi, maka operasi ini termasuk tindakan medis terapeutik. Pada kasus penyakit lain, kadang-kadang dokter yang merawat perlu melakukan tindakan medis diagnostik, misalnya biopsi, pemeriksaan radiologi khusus, atau pengambilan cairan tubuh untuk pemeriksaan lebih lanjut guna memperjelas penyebab penyakit.

Hak atas informasi
Sebelum melakukan tindakan medis tersebut, dokter seharusnya akan meminta persetujuan dari pasien. Untuk jenis tindakan medis ringan, persetujuan dari pasien dapat diwujudkan secara lisan atau bahkan hanya dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa pasien setuju, misalnya mengangguk. Untuk tindakan medis yang lebih besar atau beresiko, persetujuan ini diwujudkan dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis. Dalam proses ini, pasien sebenarnya memiliki beberapa hak sebelum menyatakan persetujuannya, yaitu :
Pasien berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis yang akan dialaminya. Informasi ini akan diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan atau petugas medis lain yang diberi wewenang. Informasi ini meliputi :
  • Bentuk tindakan medis
  • Prosedur pelaksanaannya
  • Tujuan dan keuntungan dari pelaksanaannya
  • Resiko dan efek samping dari pelaksanaannya
  • Resiko / kerugian apabila rencana tindakan medis itu tidak dilakukan
  • Alternatif lain sebagai pengganti rencana tindakan medis itu, termasuk keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif tersebut
Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas,
Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya,
Pasien berhak menolak rencana tindakan medis tersebut

Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien SEBELUMrencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.
Kriteria pasien yang berhakTidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju. Syarat seorang pasien yang boleh memberikan pernyatan, yaitu :
Pasien tersebut sudah dewasa. Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas usia dewasa, namun secara umum bisa digunakan batas 21 tahun. Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah menikah termasuk kriteria pasien sudah dewasa.
Pasien dalam keadaan sadar. Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan, koma, atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
Pasien dalam keadaan sehat akal.
Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas, bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang lainnya.
Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan medis yang akan dilakukan kepada dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak memberikan persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan wali lainnya yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila memang dia setuju.
Hak suami/istri pasien 
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga memenuhi kriteria “dalam keadaan sadar dan sehat akal”.
Beberapa jenis tindakan medis tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.
Dalam keadaan gawat darurat 
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat. Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien. Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan / prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.
Tidak berarti kebal hukum 
Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum.
Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien bersedia menerima APAPUN resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien TIDAK AKAN menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.
by : dr. Rano Indradi S, M.Kes

(Health Information Management Consultant)

Kamis, 12 Mei 2011

Bidan, Perawat & Semua Tenaga Kesehatan Harus Punya Izin Praktik

 Merry Wahyuningsih - detikHealth

Jakarta, Tenaga kesehatan seperti bidan, perawat, apoteker, sanitarian, ahli gizi, petugas Kesehatan Masyarakat (Kesmas), dan analis laboratorium diharuskan memiliki izin praktik mulai 2011.

Selama ini tenaga kesehatan yang diwajibkan punya izin praktik hanya dokter dan dokter gigi. Nantinya tenaga kesehatan yang belum memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) layaknya dokter tidak boleh praktik dan bekerja di pelayanan kesehatan serta diragukan kualitasnya.

"Di tahun 2011, semua tenaga kesehatan terutama tenaga strategis seperti bidan perawat harus memiliki STR dan izin praktik. Ini dilakukan untuk memenuhi kualitas dan menyamaratakan standar tenaga kesehatan di seluruh Indonesia," ujar Dra. Meinarwati, Apt, Mkes, Kepala Pusat Pemberdayaan Profesi dan Tenaga Kesehatan Luar Negeri PPSDM Kesehatan, di Gedung Kemenkes, Jakarta, Jumat (10/12/2010).

Menurut Dra Mei, sekarang ini belum ada standar yang dapat memenuhi kualitas tenaga kesehatan di Indonesia. Selain itu, tenaga kesehatan juga belum memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) layaknya dokter dan dokter gigi.

"Sekolah perawat dan bidan kan banyak di Indonesia, tapi tidak semua terakreditasi dengan baik. Jadi dengan ditetapkannya regulasi ini, akan membuat sekolah-sekolah tenaga kesehatan untuk dapat meningkatkan mutunya. Selain itu juga menjamin kompetensi tenaga kesehatan yang bekerja di pelayanan kesehatan," jelas Dra Mei lebih lanjut.

Selain meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan tenaga kesehatan, peraturan ini dapat melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan, juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang dilayani dan tenaga kesehatan itu sendiri.

Dengan adanya peraturan baru ini, nantinya tenaga kesehatan yang baru lulus pendidikan tidak bisa langsung bekerja atau membuka praktik sendiri. Semua tenaga kesehatan harus mengikuti uji kompetensi dan teregistrasi untuk mendapat STR dan lisensi berupa Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Izin Kerja (SIK).

"Nantinya semua standar kompetensi tenaga kesehatan akan sama di seluruh Indonesia, jadi tidak ada yang meragukan tenaga kesehatan lagi. Tenaga kesehatan di Papua juga bisa bekerja di Jawa dan Sumatera bila punya STR dan izin praktik," lanjut Dra Mei.

Menurut Dra Mei, seluruh tenaga kesehatan harus melakukan uji kompetensi, terutama bidan dan perawat yang sangat diperlukan dan juga sangat mempengaruhi pencapaian MDGs (Millennium Development Goals).

Tenaga kesehatan yang harus memliki STR adalah sebagai berikut:
  1. Bidan
  2. Perawat
  3. Apoteker
  4. Sanitarian
  5. Ahli Gizi
  6. Petugas Kesehatan Masyarakat (Kesmas)
  7. Analis Laboratorium

Jadi Ujung Tombak Pelayanan Kesehatan, Perawat Harus Adil

Jakarta, Selama ini masih ada yang mengganggap sebelah mata peran dari seorang perawat. Padahal perawat bisa menjadi ujung tombak dalam memberikan pelayanan kesehatan. Maka itu perawat diingatkan untuk harus adil pada semua pasien.

"Perawat merupakan ujung tombak dalam pelayanan kesehatan dan mempunyai peran strategis bersama dengan tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan pembangunan kesehatan," ujar Sekjen Kemenkes Ratna Rosita dalam acara Workshop Nasional Keperawatan Memperingati Hari Perawat Sedunia di Gedung Kemenkes, Jakarta, Kamis (12/5/2011).

Ratna mengharapkan para perawat mampu memberikan pelayanan yang aman bagi pasien dan masyarakat, memberikan pelayanan secara profesional, berkinerja tinggi serta peduli (caring) sehingga bisa mengurangi beban psikologis dari pasien.

"Eksistensi dari perawat berada langsung disemua tatanan masyarakat, sehingga perlu diberdayakan secara maksimal. Selain itu perawat adalah bagian yang menjadi motor suatu rumah sakit," ujar Dewi Irawaty, MA, PhD selaku Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).

Dewi mengungkapkan bahwa karena tugas dari perawat adalah memberikan pelayanan pada masyarakat, maka perawat juga memiliki kesempatan untuk berperan dan mensukseskan MDGs khususnya yang terkait dengan masalah kesehatan masyarakat.

Upaya awal untuk memaksimalkan peran perawat dalam mewujudkan pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat melalui pengembangan profesionalisme dan penerapan etika dalam pemberian pelayanan keperawatan, serta mengembangkan berbagai kebijakan terkait dengan domain utama dalam restrukturisasi pelayanan keperawatan.

"Salah satu aspek utama yang akan menjadi acuan bagi kiprah para perawat di Indonesia adalah adanya payung hukum yang memadai yaitu Undang Undang Keperawatan, yang akan mengatur dan mengawal eksistensi suatu profesi," ungkap Dewi.

Undang-undang tersebut sebenarnya telah diperjuangkan oleh masyarakat keperawatan di Indonesia sejak tahun 1994 dan diharapkan undang-undang ini bisa segera direalisasikan, sehingga ada pengaturan yang jelas mengenai mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perawat.